Rabu, 08 Juni 2016

LDR

Long Distance Relationship, begitulah banyak orang menyebutnya. Sebuah kisah cinta penuh cerita. Cerita tentang pengorbanan, cerita tentang kesetiaan, tentang kesabaran, tentang kedewasaan, tentang perselingkuhan hingga cerita tentang putus di tengah jalan.
“ku kayuh sepeda kumbangku….
ku berkhayal andai dapat mengantarkanku, sampai ke rumahmu…
seandainya aku bisa terbang
kan ku jelang kekasih….”
Memutuskan untuk tetap berpasangan saat mata tak saling melihat adalah hal yang luar biasa. Meski untuk itu seseorang harus siap Lelah Diterpa Rindu. Meski untuk menjalaninya seseorang perlu sekuat tenaga meredam cemburu. Cemburu pada keramaian, saat melihat sepasang manusia lainnya saling menggenggam tangan, ia hanya menggenggam angin. Saat hujan sepasang manusia berpayung berduaan, aku berpayung dengan siapa ?. Saat Sabtu malam tiba, semua orang keluar merenda kasih, aku hanya jadi penunggu rumah kos, menatap layar laptop sambil memegang tisu. Ketika di dalam cafe semua meja penuh berpasangan, meja miliknya justru selalu menyisakan satu kursi kosong. Ini tak adil, bukan ?.
Memutuskan untuk tetap berpasangan saat raga tak saling dekat adalah hal yang luar biasa. Meski untuk menjalaninya seseorang harus siap mendengarkan banyak suara-suara miring tentang nasib pelaku LDR, tentang kisah cinta jarak jauh yang kerap berujung antiklimaks.
Antiklimaks dalam hubungan jarak jauh sebenarnya kerap juga terjadi dalam kisah cinta jarak dekat pada umumnya. Hanya saja antiklimaks dalam LDR terasa lebih menyesakkan karena sering dibumbui cerita hadirnya orang ketiga. Antiklimaks dalam LDR juga terasa lebih menguras perasaan jika mengingat pengorbanan yang sudah dipersembahkan untuk mencoba mengerti dan percaya satu sama lain.
Cerita cinta jarak jauh memang kerap melahirkan banyak ending yang mengundang empati. Dan suara-suara miring tentang akhir cerita sebuah LDR membuat banyak pelakunya takut menjalani. Cerita-cerita antiklimaks hubungan LDR akhirnya sering membuat pelakunya ragu untuk tetap saling mempertahankan. Buat apa menjalani cinta begini jika akhirnya juga akan sendiri ?. Untuk apa tetap berdua jika ini hanya sebuah jomblo yang tertunda ?.
Semua orang tahu apa itu LDR. Tapi hanya pelakunya yang mengerti pasti rasanya menjalani kisah cinta jarak jauh. Mereka bahagia tapi kadang juga menderita. Mereka mencoba saling percaya tapi sering tak bisa mengelak dari rasa curiga. Menuntaskan rindu lewat suara di ujung telepon atau tatap muka lewat video tidak pernah bisa mengganti tatapan mata secara langsung. Pesan saling menguatkan kadang terasa hambar tanpa pelukan. Apalagi jika masalah melanda, menyelesaikannya dari sambungan telepon kadang malah memperburuk keadaan. Pada akhirnya mereka yang menjalani LDR kerap merasa hubungan mereka seperti bohong belaka. Mereka terikat janji tapi seperti tak memiliki, jadi apa bedanya dengan para single lain ?. Pikiran-pikiran itu akhirnya sering membuat para pelaku LDR merasa lelah.
Bicara itu mudah, berjanji dalam hati juga tidak sulit. Tapi tak ada yang lebih tahu perasaan tersiksa dari hubungan jarak jauh kecuali mereka para pelaku LDR. Tersiksa oleh rasa curiga dan cemburu. Tersiksa oleh kekhawatiran akankah hubungan ini akan bermuara indah atau hanya akan berakhir sama seperti cerita-cerita korban LDR ?. Sebenarnya tak ada beda yang benar-benar nyata antara cinta jarak dekat dan cinta jarak jauh. Selagi ada niat menjaga hati, semua masalah bisa teratasi.
Jodoh memang sudah dituliskan dalam suratan Tuhan. Tapi menyerah bukan cara yang dianjurkan Tuhan. Memutuskan untuk tetap berpasangan dalam rentangan jarak yang jauh adalah hal luar biasa yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang pilihan. Siapa bilang cinta jarak jauh hanya menghadirkan rasa jenuh ?. Justru sebaliknya, pelaku LDR adalah orang-orang yang diberikan banyak perasaan istimewa. Hanya pelaku LDR yang memahami indahnya pertemuan setelah menyimpan rindu sekian lama. Hanya pelaku LDR yang bisa menghargai pengorbanan pasangan melintas ratusan kilometer untuk bisa tiba di muka rumah, mengetuk pintu, dan mengucap “hai…”. Hanya pelaku LDR yang bisa merasakan indahnya kejutan surat di muka pintu atau berdebar-debar menanti layar skype dan chatting terbuka. Dan hanya pelaku LDR yang bisa menguji cintanya lewat ujian-ujian yang tak dialami orang lain.
Menjaga hati memang tak mudah. Apalagi ketika konflik batin dan pikiran beradu. Ketika hati ingin bertahan, tapi pikiran justru diserbu banyak godaan. Hubungan ini memang berkomitmen tapi tak pasti. Untuk apa menjaga hati jika akhirnya sendiri ?.  Rasa semacam itu kerap sekali membuat pelaku LDR tersiksa. Siksaan yang kerap menggoda para pejuang LDR untuk menyerah.
Tapi lihatlah, banyak orang yang sanggup lewati waktu dengan bahagia. Banyak orang yang dengan sederhana menjalani harinya di kejauhan hingga akhirnya bisa menjemput pasangannya di hari bahagia. Banyak pejuang LDR yang diam-diam tanpa banyak kata bisa membingkai cerita cinta abadi.
Tak ada satupun jenis hubungan, entah LDR, entah jarak dekat yang selalu berjalan mulus. Tapi banyak pejuang LDR yang berhasil melalui hari menembus jarak dan meraih bahagia. Sebaliknya, banyak pasangan satu kampus yang bubar jalan di tengah semester. Jadi apa yang ditakutkan dalam sebuah hubungan LDR selagi ada komitmen dan kesungguhan hati untuk saling menjaga dan percaya ?. Rasa curiga dan cemburu jadikanlah anugerah untuk saling mengingat. Rindu yang berkepanjangan jadikanlah pupuk untuk menyemai pertemuan yang lebih berarti di masa nanti. Bukankah rasanya indah memiliki kesetiaan dari dan untuk pasangan ?.
Bagaimana dengan orang ketiga ?. Takkan datang orang ketiga kecuali sengaja diundang. Jadi selagi hati kita terjaga untuk tak bermain dan mengundang pemeran pengganti, kita pun bisa berharap pasangan yang jauh di sana akan bertindak serupa. Godaan terhebat pun takkan pernah tega menghampiri mereka yang setia.
Banyak buku dan petuah orang ternama yang berusaha memberikan tips sukses menjalani hubungan jarak jauh. Tapi semua itu sesungguhnya cukup dirangkum lewat dua hal yaitu cinta dan syukur. Mensyukuri anugerah cinta apapun keadaannya akan membuat orang semakin dewasa. Demikian juga dalam hubungan jarak jauh ini, rasa syukur dapat mengatasi segala rintangan dan rentangan jarak.
Jangan melihat antiklimaks dari pelaku LDR yang gagal menjaga hati. Itu bukan karena jarak yang memisahkan, tapi karena cintanya yang tak ada. Jangan merangkum cerita dari para korban LDR yang gagal setia tapi berdalih jomblo yang tertunda. Itu bukan karena jarak yang terentang jauh, tapi karena hatinya yang mudah tergoda.
"Di saat engkau di sana... kadan langit terasa gelapnya..
walau ke ujung dunia .. pasti akan ku nanti
meski ke ujung samudra pasti ku kan menunggu.."

Sejarah Desa Batulohe



       saat itu hanya ada pejabat sementara, tahun 1994 barulah di adakan pemilihan yang saat itu di menangkan oleh Dra marliah lahae. Selama Pemerintahan di bawah pimpinan Dra Marliah selama 2 tahun penambahan satu Dusun pun terjadi di mana sebelah barat Desa Jojjolo dan sebagian wilayah Desa Bontominasa menyerahkan sebagian Desa Batulohe terbentuk sekitar tahun 1992 dari pemekaran Desa Bontominasa, yang mana dalam pemekaran Desa ini dirintis oleh  Camat Bulukumpa yang saat itu menjabat Andi Arman SE. pada saat itu Desa Batulohe hanya terdiri dari 3 dusun yaitu Dusun Batukarambu,Dusun Bontorannu dan Dusun Bontomihu, barulah pada saat berjalan 1 tahun penambahan satu dusun dimana di bagian selatan Desa Bontominasa yaitu di daerah Bontoa resmi menjadi bagian dari Desa Batulohe pada wilyahnya ke Desa Batulohe dan di namakan Dusun Batukarambu, penamaan Desa Batulohe tidak lepas dari kondisi daerah banyaknya batu batu besar di derah tersebut sehingga Desa tersebut di namakan Desa Batulohe yang jika di artikan kedalam bahasa Indonesia yaitu batu yang banyak, saat ini Desa Batulohe termasuk Desa yang tingkat pembangunan begitu pesat dan saat ini di pimpin oleh Ibnu Hajar.

A.  Keadaan Geografis
        Letak Geografis Desa Batulohe secara geografis merupakan daerah perbukitan dan bergelombang, terletak di antara Desa Sangkala di sebelah timur dan Desa Pattiroang Kecamatan Kajang sebelah selatang, sementara di sebelah utara berbatasan dengan Desa Bontominasa dan seblah barat berbatasan dengan Desa Jojjolo. Dilihat  dari fhotografi ketinggian wilayah desa Batulohe berada di antara 50-200 meter dari permukaan laut dengan curah hujan 5745 mm/tahun. Serta suhu rata- rata antara 13-12 oC. Dengan kelembaban udara 70% pertahun. desa batulohe terletak di wilayah Kecamatan Bulukumpa Kabupaten Bulukumba Propensi sulawesi selatang.
       Desa Batulohe secara administratif di batasi desa-desa tetangga
yaitu :
1.    Sebelah timur          : Desa Sangkala
2.    Sebelah selatang    : Desa pattiroang
3.    Sebelah barat          : Desa Jojjolo
4.    Sebelah utara          : Desa Bontominasa
B.  Kondisi demografi
           Luas wilayah Desa Batulohe adalah adalah 729 ha dengan jumlah penduduk sebanyak 1.300 jiwa.. Luas lahan yang ada terbagi dalam beberapa peruntukan, dapat di kelompokan  seperti fasiltas umum, pemukiman, pertanian, kegiatan ekonomi dan lain-lain. Luas lahan yang di peruntukan fasiltas umum adalah sebagai berikut: luas tanah untuk jalan : 3,7 ha Untuk bangunan umum : 5 ha untuk pemakaman : 5 ha sedangkan untuk aktifitas pertanian dan penunujangnya terdiri dari : lahan sawah dan ladang seluas : 93 ha sementara untuk peruntukan lahan untuk aktifitas ekonomi terdiri atas lahan pasar : 0,81 ha lahan industri : 0,36 ha  lahan untuk pertokoan 0,32 ha selebihnya untuk lahan pemukiman seluas : 329,67 ha. Tanah bengkok : 36,08 ha lahan perkantoran 1,07 ha, lahan untuk peribadatan : 1 ha.wilayah. Desa Batulohe terdiri atas 8 RK dan  dan 8 RT dapat di kelompokan menjadi 5 dusun yaitu, Dusun Batukarambu,Dusun Bontorannu,Dusun Bontoa,Dusun Bontomihu,dan  Dusun Batunilamung, digunakanya istilah dusun untuk mempermudah pemerintah desa dalam menjalankan roda kepemerintahan Desa
C.  Keadaan Kondisi Dan Ciri Geologis Wilayah
         Keadaan dan ciri geologis wilayah Desa Batulohe secara umum mempunyai ciri geologis berupa lahan berpasir dan sebagian wilayah merupakan tanah bebatuan.dari luas wilayah Desa Batulohe merupakan tanah perkebunan karet milik perusahaan PT PP LONSUM, selain itu digunakan untuk lahan pertanian seperti kebun dan sawah milik para masyarakat. lahan berpasir sedikit membantu mengurangi resiko banjir yang setiap tahun di alami Desa-desa paling ujung dari saluran irigasi, lahan berpasir di Desa Batulohe dapat dengan cepat menyerap air yang datang menggenangi di daerah ini sehingga banjir atau genangan air akibat hujan maupun luapan sungai dan saluran irigasi cepat menjadi surut, pada musim hujan lahan berpasir ini dapat di tanami padi, sebagai selingan bertanam, di wilayan dusun batunilamung terutama sisi paling barat ciri geologisnya berupa tanah bebatuan, dengan lapisan atasnya tanah lempung berwarna merah, secara topografi tanah in berbentuk pegungan atau dataran tinggi dengan ketinggian kurang dari 300 meter di atas permukaan laut wilayah inilah yang paling tinggi posisinya di antara dusun dusun yang lain yang ada di desa Batulohe
       Sementara Dusun Bontoa dan Dusun Bontomihu merupakan tofografi dataran tinggi dengan permukaan bergelombang dan sebagian kecil dataran tinggi, Dusun batukarambu dan Dusun Bontorannu merupakan wilayah yang bergelombang dengan jenis tanah bebatuan bahkan permukaan tanah kebanyakan dari batu cadas. Wilayah ini adalah wilayah dataran rendah dengan ketinggian 50 meter di atas permukaan laut. Wilayah inilah yang paling rendah posisinya di antara wilayah wilayah yang lain di desa batulohe, Dan saat ini desa batulohe kembali di pimpin oleh bapak ibnu hajar
Bapak Ibnu Hajar. Kepala Desa Batulohe. Kecamatan Bulukumpa Kabupaten Bulukumba


TANAH TOWA, KEINDAHAN DI BALIK RIMBUNYA HUTAN ADAT

Kokok ayam ketawa mengantar langkah saya memasuki kawasan adat Ammatoa – sebuah bentang alam rimbun yang dihuni masyarakat Suku Kajang di Desa Tana Towa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.
Tergolong tempat magis yang diselimuti banyak misteri, wisatawan yang berkunjung ke Tana Towa memang sedikit. Berbeda jauh dengan Tana Toraja, objek wisata budaya yang berlokasi di provinsi yang sama. Tetapi jangan salah, pesona alam dan budaya Tana Towa tak kalah.
engunjung di pintu masuk menuju kawasan adat Ammatoa. Pintu ini berfungsi sebagai batas kultural antara Tana Kekea (permukiman dalam) dan Tana Lohea (permukiman luar). Foto: Clara Rondonuwu
Setelah berjalan melewati setapak berbatu yang dikelilingi bambu dan pohon kayu biti (Vitex cofassus), saya sampai di Dusun Benteng. Ini adalah satu dari tujuh dusun yang ada di dalam gerbang kawasan adat Ammatoa atau biasa disebut Tana Kekea. Masyarakat Kajang yang ada di daerah tersebut masih memegang teguh ajaran nenek moyangnya dan merupakan pengikut setia sang pemimpin adat yakni Ammatoa.
Kawasan tersebut steril dari motor, mobil, televisi, dan listrik. Laki-laki dan perempuan yang berbusana serbahitam tampak lalu lalang membawa hasil hutan atau menggembalakan sapi. Adapun rumah-rumah mereka tampak seragam, berbahan kayu dan menghadap Gunung Lompobattang. Yang khas, tiang-tiang rumah melengkung mengikuti bentuk asli dari kayu biti. Letak dapur juga persis di sebelah pintu masuk.

Anak-anak berjalan kaki sepulang sekolah menuju rumah mereka yang berada dalam kawasan adat Ammatoa. Warna seragam disesuaikan dengan adat, yakni putih hitam. Foto: Aril Nugraha
Masyarakat Kajang dalam Tana Kekea secara sengaja menjauhi kehidupan modern. Bukannya alergi teknologi, akan tetapi menurut adat setempat kesederhanaan hidup bisa lebih terjaga tanpa keberadaan barang-barang tersebut. Apalagi hampir semua kebutuhan hidup mereka tercukupi dari beraneka sumber daya hutan.
Buat masyarakat yang ingin menikmati listrik dan barang elektronik, ada pilihan untuk tinggal dalam dua dusun lain di luar gerbang kultural atau disebut Tana Lohea.

Perempuan Kajang mengenakan sarung hitam yang mereka tenun sendiri. Pewarna diambil dari daun tarum yang tumbuh di hutan. Foto: Aril nugraha
Tana Towa dalam bahasa setempat berarti tanah tertua. Masyarakat Suku Kajang meyakini bahwa di tempat itulah kehidupan paling awal dimulai, saat daerah sekelilingnya hanya lautan. Manusia pertama ada di Tana Towa, kemudian bertambah banyak dan memenuhi berbagai penjuru dunia.
Mereka juga meyakini, Tuhan senantiasa mengawasi kehidupan mereka lewat hutan. Selama 40 tahun lamanya, hutan di kawasan adat Ammatoa terjaga dengan baik dan luasannya tetap. Menurut Kepala Desa Tana Towa, Sultan, masyarakat Kajang memiliki pembagian jelas mana hutan yang bisa dinikmati hasilnya dan mana yang disakralkan.
photo (6)
Suasana di Desa Benteng, desa yang berada dalam kawasan adat Ammatoa. Foto: Aril Nugraha
Ada ratusan hektare hutan di kawasan tersebut yang disucikan dan masyarakat adat menolak memberi ruang bagi perusahaan perkebunan untuk mengeksploitasi hutan mereka. Sultan mengatakan bahwa hutan sakral tersebut hanya boleh dimasuki saat masyarakat Kajang menggelar ritual adat seperti andigigi atau upacara untuk mengajukan harapan kepada sang pencipta. Ada pula kegiatan ritual lain untuk memohon keselamatan supaya terhindar dari malapetaka.
“Hutan itu adalah adat dan adat itu hutan. Walaupun persepsi negara mengatakan kawasan itu adalah hutan produksi terbatas, tetapi selama itu pula kami mengakuinya sebagai hutan adat,” kata Sultan, menyinggung tentang problem kepemilikan hutan yang tengah membelit masyarakat adat tersebut.
photo (7)
Perempuan di kawasan adat Ammatoa menenun sendiri sarung hitam mereka. Pewarna diambil dari daun tarum yang tumbuh dalam kawasan hutan. Foto: aril aril nugraha
Adapun menurut peneliti kehutanan dari World Agroforestry Centre, James Roshetko, Tana Towa adalah contoh baik dari pemberlakuan peraturan adat yang tepat dalam melindungi dan mengatur penggunaan sumber daya hutan. Sudah selayaknya mereka mendapat pengakuan atas upayanya mengelola kawasan alamnya, apalagi saat ini sebagian besar hutan alam di Bulukumba sudah beralih fungsi. “

Pemdes Batulohe gotong royong bersihkan area pemakaman umum di desa

 Sinar matahari pagi mulai berangsur naik, terlihat Beberapa warga Desa Batulohe bersama dengan pemdes dan Pemuda Desa Batulohe kecamatan Bu...